Senin, 27 Februari 2012

Bu, Ijinkan aku menjagamu..

 Sejak menjadi mahasiswa 3,5 tahun yang lalu, aku punya waktu luang yang lumayan banyak untuk berada di rumah bersama mereka, keluargaku tercinta. Terutama bersama ibuku. Jika sedang tidak ada jadwal kuliah, hari-hariku terisi sempurna dengan bercerita banyak tentang apa saja dengan beliau. Sejak kuliah pula aku mulai diajarkan menjadi ‘chef’ di rumah.
3,5 tahun yang lalu, aku belum mengerti arti dari tanggung jawab yang sebenarnya. Karena masih ada kedua kakakku di rumah yang bisa dengan mudah ku kelabui untuk mengerjakan jatah pekerjaanku. Aku? Pura-pura banyak tugas kuliah, pura-pura belajar, pura-pura pusing. Dan selalu sukses, meskipun seharian harus ku jumpai wajah-wajah jutek dari keduanya. Hehe
Hidup itu dengan tanpa kita sadari bergulir sangat cepat.  Begitupun yang kurasa. Saat salah satu kakakku harus pergi merantau ke ibukota untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai pegawai negeri. Pekerjaan menjadi ‘chef’ otomatis menjadi pekerjaanku, meskipun sering juga diganti oleh beliau dan kakak tertuaku.
Itu juga tidak terasa. Beberapa bulan kemudian kakak tertuaku menikah. Menjelang hari H, aku dan ibuku berubah menjadi partner dadakan. Sungguh, aku melihat lelah teramat di dalam senyumnya, di matanya. Namun kata-kata ‘itulah orang tua, demi anak rela mengorbankan apapun.’ sungguh, aku malu saat istirahat sejenak, sedangkan beliau terus kerja seakan tidak mengenal lelah.
Setelah hari itu, dan terutama setelah kedua kakakku tidak lagi berada di rumah bersama kami, aku yang dulu suka berpura-pura, sedikit-sedikit belajar arti tanggung jawab. Ya, apalagi kedua orang tuaku tidaklah muda lagi seperti kebanyakan orang tua kawan-kawan.
Berat awalnya kurasa. Di samping aku mempunyai tanggung jawab lain sebagai bayaran mahal untuk pengorbanan mereka, di samping duniaku bersama pergaulanku. Pernah bahkan sering aku mengeluh, tapi saat tiap melihat wajah lelah mereka, aku merasa teramat berdosa.
Mundur pelan-pelan dari kawan-kawan, ternyata mendapatkan feedback yang begitu cepat. Ya, mereka menjauhiku, atau mungkin membenciku. Tidak taukah mereka setiap ajakan untuk keluar yang hampir selalu ku tolak sering buat aku sedih? Tapi dengan mudah, mereka mengatakan aku terlalu banyak alasan, inilah itulah, dan bahkan sering memperlihatkan tidak suka mereka. Sedih. Namun kemudian aku mencoba berpikir dewasa, aku begini bukan karena hal yang main-main, tapi sesuatu yang bagiku sangat luar biasa berartinya. Merawat, membantu, menjaga kedua orang tuaku! Dan aku menganggap mereka begitu karena belum merasakan indahnya tanggung jawab itu melebihi dari yang namanya jalan-jalan.
Sejak itu aku semakin mengerti. Saat berbicara, tertawa, adu argument, merangkul tangannya, memeluk dan mencium kedua orang tuaku merupakan hadiah terindah yang nggak pernah bisa digantikan oleh apapun. Ketika aku bersama ibu duduk di depan tivi dan memikirkan mau masak apa hari ini. Saat aku dan beliau berada di kamar dan berbincang banyak hal, tertawa, merepet, bahkan bukan tidak sering beliau mengganggu tidurku dengan gelitikan tangannya, dan merangkulku di dalam pelukannya dan mengusap kepalaku dengan jari-jari tangannya yang sudah.. keriput.. Saat aku tengah tidur di sebelahnya.
Begitu indah. Sampai aku tidak menyadari hari terus bergulir dengan cepatnya. Sampai pada saat tenaga beliau tidaklah seperti dulu lagi. Pusing, lemas, sering ia keluhkan. Tiap mendengar pertanyaan, “besok kuliah?” dan “yaa, nggak ada yang kawanin di rumah” rasanya tiap habis jadwal kuliah aku ingin cepat-cepat pulang untuk menemaninya.
Hingga pada beberapa waktu yang lalu, beliau divonis menderita penyakit yang belakangan ternyata pusing dan lemas  itu tanda-tandanya. Shock? Jelas. Pengalaman melihat anggota keluarga yang sakit sama harus menahan sakit sepanjang tahun. Dan yang buat aku makin shock adalah dengan kemungkinan sakit berat lain yang akan menghampiri sewaktu-waktu seperti kejadian yang sudah-sudah..
Sakit. Mungkin inilah cara Allah untukku. mungkin inilah cara Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk bisa menjaganya. untuk bisa berbakti kepadanya. 
dan hal yang sangat ingin aku lakukan adalah menyelesaikan tanggung jawab studiku yang tinggal selangkah lagi. untuk membuktikan aku bisa membuatnya bahagia. aku bisa membuatnya bangga seperti yang telah dilakukan kedua kakakku.

Bu.. Ijinkan aku menjagamu.. 
Bu.. Ijinkan aku menemanimu.. 

Sabtu, 14 Januari 2012

Sekedar share, tidak maksud untuk menyinggung.

"Nur, Bang Ipal mau nikah, Om Mud pusing tujuh keliling."
"kenapa, Mak?" "anak mau nikah kok pusing, kan Bang Ipal udah kerja, di bank lagi."
"apa nggak pusing, anak baru kerja setahun, ni mau nikah, calonnya minta 30 mayam."
diam sejenak, atur napas, jernihkan pikiran. 
****

"kak, Ami galau ni."
"apa galau-galau, nggak ada kerja."
'bukan gitu, kak. masa' si Akbar gitu-gitu udah punya pacar, ceweknya lagi yang nembak."
"jadi kamu mau gitu juga?"
"ami mau jugak lah punya pacar."
-_________- "baru juga masuk kuliah, kasih nampak dulu hasil kuliah bagus."
"kan anak muda." "di kampus Ami ada cewek cantik, tapi kan, kak, anak L**********, mahal kali maharnya. itulah yang Ami pikirin."
****

begitulah segelincir percakapan mengenai mahalnya mahar gadis sekarang. bingung. berkali-kali aku coba cari apa alasan dari tingginya mahar untuk menikahi seorang gadis. apa karena anak orang kaya? keturunan bangsawan? atau cantiknya aduhai sekali? udah berapa kali dapat kejadian kayak gitu. tapi (maaf ni ya) waktu liat si gadis kok nggak secantik yang aku pikirin ya? juga bukan dari keluarga kaya raya, dan buat kejadian si Bang Ipal ini, calonnya memang adalah (maaf) keturunan bangsawan. nah, timbul pertanyaan setelah itu, apakah mahar seorang gadis bangsawan itu segitu mahalnya? kalau gitu susah dong ya kalau mau 'perli' atau naksir seorang gadis bangsawan dengan embel-embel di namanya? pelik sekali. mau nikah aja kok malah menyusahkan.
kembali ke gadis yang maharnya setinggi langit (kayak mahar anak presiden), kasian ya kalau keburu jatuh cinta sama gadis, mesti putar otak buat nyari mahar segitu mahal. kalau buat orang kaya yang nggak tau lagi bawa uang kemana ya itu urusan mudah, nah kalau buat orang kere, gimana? hehehe

coba deh kalkulasi, harga emas murni sekarang satu mayamnya berkisar kurang lebih 1,7 juta, kalikan 30, hasilnya Rp 51.000.000,- belum lagi hantarannya yang bisa 16 talam bahkan lebih, itung aja sendiri berapa banyak keluar uang si laki-laki. kasian kasian kasian. nasib mu lah, nak. >__<
kalau anak orang kaya raya, itu mah gampang, kalau  nggak?? mau ngais duit dimana??

aku pernah baca dan dengar hadist yang seingatku mengatakan bahwa menikah itu bukan untuk menyusahkan. apalagi sampai menyusahkan pihak laki-laki yang berniat menikah. Islam sendiri memudahkan sebuah pernikahan yang didasari dari sebuah niat yang sangat mulia, bahwa nikahilah perempuan dengan mahar yang sewajarnya, bahkan mahar itu sendiri bisa berupa  barang paling berharga satu-satunya yang dipunya oleh sang laki-laki, meskipun itulah hanyalah sebuah cincin usang. bahkan telah disebutkan dalam hadist (aku lupa hadistnya), bahwa sebaik-baiknya dan semulia-mulianya perempuan adalah perempuan yang memudahkan laki-laki dengan mahar yang kecil.

kalau sekarang, dari yang aku lihat adalah, derajat yang paling tinggi adalah perempuan dengan mahar yang tinggi. tidak jarang banyak laki-laki yang menunda pernikahan hanya untuk memenuhi permintaan mengerikan itu. dan pernah aku berdiskusi dengan beberapa kerabat, karena sebab itu juga banyak yang mengambil 'jalan pintas'. hamil di luar nikah misalnya, atau nikah di bawah tangan (nikah siri), biar nggak susah bayar mahar setinggi itu dan nggak susah bawa hantaran yang isinya berjuta-juta. 

yaah, begitulah fenomena yang terjadi di jaman sekarang ini.
susah untuk dijabarkan dan dilogikakan dengan akal sehat.